Sebelum menulis, saya teringat kritik tajam salah satu penulis dari Jawa Timur, almarhum Hardjono WS, yang pernah berkata, “Ciri seorang manusia itu menulis, kalau tidak menulis bukanlah manusia”. Sebuah otokritik yang menarik jika kita renungkan kembali bagaimana hakikat ilmu dalam konteks perkembangan peradaban manusia. Steven Covey, bahkan pernah berpesan berbau sarkasme begini, “Apa yang akan kau tinggalkan di antara kedua patok nisanmu?” Seorang kawan penyair dari Jombang, Sabrank Suparno bilang, “Penulis tak akan lenyap dari dunia, sebaliknya dunia bisa lenyap dalam diri penulis.

Ketiga tamsil inspiratif ini tentu sangat menarik direnungkan jika kita konsen pada pengembangan kebudayaan dan peradaban di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Warga NU yang dalam hal ini adala Pelajar NU“wajib” menulis,  karena ia akan menjadi wasilah kebudayaan sehingga akan abadi dalam kehidupan peradaban manusia. Jika seorang Muhammad Syafii Antonio [mulanya mualaf ] mampu menuliskan Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW “The Super Leader Super Manager” (2010) berjumlam 8 jilid, maka pertanyaannya, “Bagaimana warga NU yang berpuluh tahun bergulat dengan latar belakang pendidikan Islam yang luar biasa tidak mampu menuliskannya?

Aroma kekaguman kepada Rasulullah Muhammad Saw, tentu mengikat kita untuk melakukan yang terbaik dalam membangun peradaban manusia. Alat bangun peradaban yang paling fundamental tentu terciptanya budaya sadar untuk membaca dan menulis. Dibandingkan banyak Negara di dunia barangkali Indonesia termasuk yang paling tertinggal.

Tradisi kelisanan seperti gelombang samudera yang mendatangkan goncangan budaya (tsunami budaya) dalam masyarakat Indonesia mutakhir. Puluhan media televisi misalnya, sebagai representasi budaya lisan, memiliki
pengakuan yang luar biasa sehingga
rating acara talk show dari hari ke hari terus mengalami peningkatan yang signifikan. Disadari atau tidak, budaya lisan di Indonesia (kecuali pengajian) telah menghancurkan sendi-sendi
peradaban.

Tanpa adanya budaya tanding dengan lahirnya tradisi Sadar membaca dan menulis di kalangan Pelajar NU misalnya, maka semakin hari dapat diperkirakan akibatnya. Budaya membaca dan menulis di Pelajar NU adalah upaya menggagas NU ke Depan, di sini akan tumbuh ribuan bebunga indah di taman besar nan memesona bernama taman kehidupan NU. Taman memesona yang potensial dengan ribuan tunas berkualitas tetapi belum
tersirami dan terpupuk secara maksimal.

Penulis NU di kancah nasional memang tidak terhitung jumlahnya tetapi di kota tercinta Garut yang mampu “berbicara”, belumlah memadai. Terlepas berbagai latar belakang, sesungguhnya ia (Pelajar NU) merupakan tunas-tunas peradaban yang wajib dirawat, disirami, dicangkok, dan ditumbuhkan sehingga akan lahirlah pohon-pohon peradaban yang kokoh. Kokohnya pohon peradaban itu akan membangun hutan kepenulisan yang lebat sehingga menjadi paru-paru peradaban dan kebudayaan di Indonesia.

Tengoklah kekaguman Muhammad Syafii Antonio dalam memberikan pengantar bukunya. “Mengkaji perjalanan hidup nabi Muhammad Saw bagaikan mengarungi samudera nan luas tak bertepi.” (2010:vii). Sebuah metafora yang indah. “Ibarat seorang penyelam yang mencari mutiara di samudera nan luas maka ia tidak akan pernah benar-benar mengarungi samudera tersebut sampai lengkap ke semua penjurunya. Kita mengira seolah sudah menjelajahi jauh ke berbagai pelosok padahal sesungguhnya kita baru bergerak tidak jauh dari pantai tempat perahu bertambat. Siapa pun yang mengkajinya pasti tidak akan lengkap. Seberapa pun, upaya yang dicurahkan pasti tidak akan sempurna.” Begitulah tambahnya di pengantar buku berseri itu.

Pandangan demikian, tentu merupakan inspirasi indah bagi kita untuk terus berada di tepi pantai untuk memandang samudera besar peradaban Islam yang dibangun Rasulullah Muhammad Saw kemudian mengarunginya dengan mental seorang pelaut ulung [bukankah nenek moyang kita adalah bangsa pelaut? Hem.]. Ketika peradaban Islam dimulai dengan kelahiran beliau, berangsur-angsur Islam mengalami kejayaan, utamanya di zaman Bani Abbasiyah. Konon, di zaman inilah penerjemahan berbagai buku dari India, Romawi (Yunani) dan Cina dilakukan. Hal ini mirip dengan apa yang dilakukan Jepang pada abad ke-20 dengan menerjemahkan buku-buku yang tidak terhitung jumlahnya dari Eropa dan Amerika. Khususnya saat usai dibom atom oleh AS di Nagasaki dan Hiroshima, reaksi Jepang adalah mengirimkan ribuan pemuda ke Eropa dan Amerika berikut diiringi
dengan penerjemahan buku yang jumlahnya tidak terhitung.

Menengok sejarah peradaban Islam, maka kita akan menemukan apa yang oleh Eko Laksono disebutnya dengan polymath Islam (orang jenius yang mengusai beberapa bidang ilmu berbeda. Eko Laksono (2005:39) menuliskan beberapa polymath itu diantaranya: (1) Al-Khwarizmi yang menguasai ilmu Matematika (Algoritma, Aljabar, Kalkulus), Astronomi, dan Geografi; (2) Al-Kindi yang menguasai bidang Filsafat, Matematika, Kedokteran, Fisika, Astronomi, Optik, dan Metalurgi; (3) Al-Farabi yang menguasai Ilmu Sosial, Logika, Filsafat, Ilmu Politik, dan Ahli Musik; (4) Al-Razi yang menguasai ilmu Kedokteran, Ilmu Kimia, dan Astronomi; (5) Al-Biruni yang menguasai ilmu Astronomi, dan Matematika; (6) Ibn Sina yang menguasai ilmu Kedokteran, Filsafat, Matematika, dan Astronomi; (7) Al-Ghozali yang menguasai Sosiologi Teologi, dan Filsafat; (8) Ibn Rusyd yang menguasai ilmu Filsafat, Teologi, Ilmu Hukum, Kedokteran, dan Astronomi; serta (9) Ibn Kaldun yang menguasai ilmu Filosofi Sejarah, Sosiologi, dan Ilmu Politik.

Peradaban Islam mulai runtuh setelah peradaban Islam di Andalusia (Eropa) berangsur-angsur dikuasai oleh Kristen. Titik-titik historis berikut diparafrasekan dari uraian Eko Laksono (2005:65) menarik direnungkan: (i) pada tahun 1085, Toledo direbut, (ii) pada 1236, Cordoba sudah mereka kuasai, (iii) pada 1248, giliran Sevilla dikuasai, dan (iv) 1492, Granada jatuh. Granada awalnya sempat bertahan namun setelah politik perkawinan Ratu
Isabella dan Raja Ferdinand, maka kekuasaan Kristen menjadi luar biasa. Penguasa Granada memainkan “politik inkuisisi”, yakni pengadilan agama yang dianggap sesat, termasuk di dalamnya Islam dan Yahudi. Puncaknya, untuk menghabisi pengaruh Arab, 1 juta buku umat Muslim dibakar habis di lapangan Granada sehingga tinggal tersisa abunya. Di sinilah, kemudian berangsur-angsur peradaban Islam kehilangan kendali kejayaannya. 

Berkaca pada sejarah peradaban Islam itu, tentu kekuatan pergulatan budaya membaca dan menulis memiliki filosofi yang menghistoris. Pentingnya budaya bacatulis dalam kehidupan NU menjadi tantangan dan peluang besar yang
–mungkin—akan berkontribusi atas perubahan kebudayaan di Indonesia. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari misalnya, memiliki kebiasaan membaca dan menulis yang luar biasa. Dalam buku
Kebiasaan-Kebiasaan Inspiratif KH. Ahmad Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari (2013) dikisahkan beliau memiliki kebiasaan macam berikut: (i) mengajar sejak usia 13 tahun (hal. 172-174), (ii) haus ilmu dan mengembara dari pesantren ke pesantren (hal. 188-192), (iii) membaca dan membeli buku, lalu menuliskannya kembali (hal. 222-226), (iv) menjemur koleksi kitab dan buku-buku (hal.257-258), (v) menulis kitab di pagi hari (hal. 227-228), serta (vi) kebiasaan unik beliau sebelum membaca dan menulis buku (hal. 229-230). Mengapa kita tidak membaca dan menulis? Kita sering mengagumi beliau tetapi lupa mengikuti kebiasaan beliau yang luar biasa dampaknya terhadap peradaban Islam dan Indonesia.

***

Berkaca pada Jepang, Eko Laksono, menuliskan begini, “Bangsa Jepang adalah pembaca terhebat di dunia. Elizabeth I, Napoleon, Hitler, Carnegie, Akio Morita, dan Bill Gates semuanya pembaca.” (2005:410). Di Jepang,
antara pemerintah, sekolah, masyarakat, dan keluarga bergerak bersama untuk membudayakan baca-tulis. Tradisi ujian nasional misalnya, di Jepang justru merupakan budaya yang dinanti bukan sebaliknya dipersoalkan
seperti bangsa Indonesia. Saat itulah, maka anak-anak usia 12-13 tahun belajar keras sampai larut malam, sampai-sampai tidur dalam semalam hanya 2-3 jam per hari. Itu pun, berlangsung hampir tiga bulan (2005:379). Ujian nasional di Jepang dikenal dengan nama
Shiken Jigoku (Neraka Ujian). Bandingkan dengan Indonesia? Sungguh, ibarat bumi dan langit, jika kita mendebatkan atau mendiskusikannya.

Belum lagi, ibu-ibu di Jepang meskipun mereka terdidik rata-rata sarjana (bahkan sampai bergelar doktor), lebih memilih mendampingi anak-anak belajar di rumah. Di Jepang dikenal dengan apa yang disebut Kyoiku Mama (Ibu Pendidikan). Mereka akan meneliti dengan cermat apa yang telah dipersiapkan, dilakukan, dan dihasilkan oleh anak-anaknya. Mereka mempelajari bahan-bahan pelajaran sekolah dan mendampingi anak mereka (2005:379-380). Sekali lagi, bandingkan dengan Indonesia atau keluarga besar NU. 

Mari belajar budaya baca-tulis bangsa Jepang. Pemikiran ini diturunkan dari http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/19/tingginya-budaya-bacatulis-di-jepang/, maka ada pokok-pokok pengalaman yang menarik untuk dikemukakan dalam tulisan ini.

Pertama, budaya membaca di Jepang itu luar biasa. Indikasinya, banyak toko buku yang tersebar. Ini terkait dengan sifat tekun, pekerja keras, dan keinginan untuk selalu belajar. Jumlah toko buku di Jepang sama
banyaknya dengan jumlah toko buku di Amerika Serikat (AS). Ironisnya, negeri adidaya itu 26 kali lebih luas dan dua kali berpenduduk lebih banyak daripada Jepang.

Kedua, kuatnya tradisi belajar dan membaca. Keinginan selalu belajar telah tertanam kuat pada warga Jepang. Ini didasarkan pada kebiasaan (i) sifat selalu memperbaiki hasil kerja, dan (ii) adanya budaya baca-tulis yang
mengakar besar di Jepang. Negeri Sakura menyediakan banyak fasilitas membaca di tempat umum. Di stasiun, bus umum, kereta, ataupun halte, antri di kantor-kantor pelayanan masyarakat, mudah ditemui orang-orang
yang beraktivitas membaca.

Ketiga, kuatnya dukungan fasilitas membaca. Fasilitas baca-tulis mudah dijangkau oleh warga Jepang. Kebahagiaan bagi penulis dan penerbit buku. Ternyata, sesuai dengan data yang dirilis Bunka News, jumlah toko buku bekas menempati persentase sepertiga di antara total jumlah toko buku di Jepang. Keberadaannya dinilai sebagai penolong bagi para peminat buku.

Keempat, keluarga sebagai penyangga tradisi baca-tulis. Sebagaimana telah disinggung di awal, bahwa orang tua di Jepang (khususnya ibu) mendampingi dan ikut mempelajari apa yang sedang dipelajari oleh anakanaknya. Alangkah indahnya jika ini terjadi di Indonesia umumnya, khususnya di kalangan NU?

Kelima, penghargaan yang tinggi oleh pemerintah dan masyarakat. Kondisi demikian menjadi sangat penting mengingat budaya baca-tulis Jepang itu telah mengakar dari atas ke bawah. Baik itu pemimpin, birokrat,
guru, dosen, artis, dan pelaku seni lainnya; semuanya memiliki kecintaan yang sama terhadap budaya baca-tulis.

Belajar dari pengalaman inspiratif negara Jepang maka merindukan tradisi membaca dan menulis, di kalangan Pelajar NU menjadi mimpi besar yang membutuhkan dukungan semua pihak. Semua elemen, semua unsur, dan semua aspek yang ada di NU. Mimpi besar budaya ini tentu secara historis bersifat Islami dan secara global merupakan tuntutan zaman yang tidak bisa dihindari.

Membudayakan membaca dan menulis sesungguhnya tidaklah sulit mengingat keduanya merupakan keterampilan. Kemahiran sebuah keterampilan hanyalah hukum kali dari berapa sering kita melakukannya. Akselerasi kemahiran membaca dan menulis dengan sendirinya menuntut frekuensi optimal jika menginginkan hasilnya maksimal pula. Masyarakat berbudaya baca-tulis akan menjadi aset besar bagi suatu bangsa. Jika ini terjadi di NU maka dengan sendirinya kualitas dahsyat NU semakin diperhitungkan.

***

Akhirnya, apa yang saya antarkan dalam tulisan ini? Sesungguhnya, tidak ada. Ibarat selambu [tabir], saya hanya mengabarkan tentang selambu itu yang perlu dibuka. Selebihnya, silakan pembaca mencermati rangkaian
tulisan di dalamnya dengan literatur pengetahuan yang lain. Saya tak ingin menggurui. 

Untuk mengakhiri tulisan ini, akan saya kutipkan Analek Konfusius yang dituliskan Eko Laksono dalam buku indahnya, Zaman Kebangkitan Besar Imperium III: Rahasia 1000 Tahun Keunggulan dan Kekayaan Manusia (2005:323). Jujur, larik-larik Analek Konfusius sering mengganggu saya. Titik filosofi Analek Konfusius itu dapat dikemukakan sebagai berikut :

Buku itu seperti gudang berisi emas. Saya mendengar dan saya akan lupa. Saya melihat dan saya akan ingat. Saya lakukan maka saya akan mengerti. Nikmatilah pekerjaanmu, maka kamu tidak akan pernah merasa bekerja seumur hidupmu.

Seseorang tidak akan bisa mengajari orang lain kalau ia tidak bisa mengajari keluarganya sendiri. Ada dua macam orang yang tidak bisa berubah: orang-orang paling bijak dan orang-orang paling bodoh.

Jika ingin kemakmuran 1 tahun, tumbuhkanlah benih. Jika ingin kemakmuran 10 tahun, tumbuhkanlah pohon. Jika ingin kemakmuran 100 tahun, tumbuhkanlah (didiklah) manusia. Kemenangan terbesar manusia bukan tidak pernah gagal, tetapi mampu bangkit kembali setiap kali terjatuh.

Manusia unggul akan lebih banyak menunjukkan hasil kerja daripada banyak bicara. Setiap kali kamu melihat orang besar, pikirkan bagaimana kamu bisa menirunya. Orang-orang bijak memikirkan kebaikan, orang kecil
memikirkan kepentingan. Orang-orang besar mempunyai kemauan besar, orang-orang kecil hanya mampu berharap-harap.

Lebih baik segera menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Jika kamu bersabar saat dalam kemarahan, kamu akan selamat dari penyesalan 100 hari. Waktu adalah emas, tapi waktu yang telah hilang tidak akan bisa dibeli dengan emas.

Analek Konfusius ini seperti potongan hikmah dan renungan spiritual Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam. Pembaca yang budiman, mari menyalakan lilin daripada kita mengutuk kegelapan. Membaca dan menulis adalah
Menggagas NU ke depan,
menurut saya—seperti sebuah lilin di tengah gelap-pekatnya budaya membaca-menulis di kalangan NU. Semoga lilin ini, –seberapa pun kecilnya–, ada harapan bermakna.

Jika tokoh-tokoh besar Islam (polymath) telah menjadi nafas peradaban modern dan pelopor cahaya keemasan kejayaan Islam, kenapa kita tidak? Ketika tokoh-tokoh NU yang menyejarah seperti KH. Hasyim Asy’ari
berikut para ulama sufi telah menuliskan inspirasi peradaban keilmuan dan peradaban suci di Nusantara, mengapa kita tidak? Belajar menulis sebagaimana terkumpul dalam buku sederhana ini –kiranya pun—sudah berlebihan di-
qiyas-kan dengan lilin.

Atas segala khilaf dalam tulisan ini, mohon dimaafkan. Bukankah setiap tulisan hakikatnya kegagalan yang indah? Belajar dari “kegagalan yang indah”, semoga akan terlahir tulisan-tulisan selanjutnya yang jauh lebih inspiratif. Lilin.

2 thoughts on “Pelajar NU, Membudayakan Membaca dan Menulis”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *